INFOTAINMEN ATAU GIBAHTAINMEN

Tayangan infotainmen kembali mendapatkan sorotan. Semenjak kisruh beberapa orang artis di media maya, tayangan yang selalu mengumbar info-info kehidupan pribadi public figure tersebut menuai pro dan kontra. Begitu berjejal tayangan infotainmen di televisi swasta kita. Ada Cek & Ricek, Go Spot, Silet, dan Kabar Kabari di RCTI. SCTV menawarkan Waswas, Halo Selebriti, Ada Gosip, dan Bibir Plus. Indosiar menyajikan Kiss dan Intermezo. TPI menyiarkan Go Show, Blak-blakan Selebriti. Trans TV menjual Kroscek dan Insert Pagi, Siang dan Sore setiap hari. TV7 punya Star7 dan Kabar Idola. Di ANTV ada Espresso dan Double Espresso. Di Metro TV ada Showbiz News. Selain itu ada juga Hot Gossip, Issue, Mata Selebriti, dan lainnya.

Sebetulnya sejak lama ormas Islam, khususnya PBNU dengan tegas mengharamkan tayangan yang kurang mendidik ini. Seperti dilansir situs Nu Online, pengharaman atas dasar tayangan infotainmen lebih banyak bahaya daripada manfaatnya. Ajaran Islam memandang haram suatu perbuatan dikarenakan dua hal. Pertama, lebih besar bahaya tinimbang manfaatnya. Inilah yang menjadi dasar hukum keharaman khamar dan judi seperti tertera dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 219. Kedua, bisa menjerumuskan seseorang pada perbuatan haram (saddud dzara’i). Perbuatan yang hukum asalnya halal, bisa berubah haram lantaran menjadi perantara seseorang berbuat dosa.

Menurut Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Hasyim Muzadi, hukum haram atau tidaknya tayangan infotainmen ditentukan oleh isi atau kontennya. “Infotainmen sebagai kerangka program acara dinilai menurut isinya, karena yang bisa dihukumi adalah isi atau kontennya. Kalau isinya gosip, adu domba, mengaduk-aduk ketenteraman keluarga, pasti dilarang agama,” tegas Hasyim.

Gunjingan seputar sisi kehidupan pribadi kaum selebritis mulai dari konflik rumah tangga, perceraian, dan perselingkuhan memang termasuk satu-satunya tayangan andalan yang paling digemari. Sejalan dengan itu, dampaknya pun sudah kian mengkhawatirkan. Tidak saja sang selebritis bersangkutan–sebagai lakon berita—yang menjadi “korban”. Pun masyarakat pemirsa digiring pada kondisi menggunjing ramai-ramai aib seseorang.

Fenomena di atas tentu saja kurang kondusif bagi terciptanya upaya pengukuhan nilai-nilai moralitas sosial. Sebaliknya, rentan mengundang korosi moral secara masif. Di mana seseorang tidak akan malu lagi melakukan hal-hal sama yang juga dilakukan sang idola meski tahu perbuatan tersebut pada awalnya dianggap tidak bermoral. Perceraian, konflik rumah tangga sampai pengadilan, dan perselingkuhan malah menjadi trend–yang semula termasuk aib dan cela sehingga siapapun orangnya berusaha menutupinya—hanya karena yang melakukannya seorang public figure.

Ditegaskan Hasyim Muzadi, media sejatinya menjalankan fungsinya dengan baik dan elegan sebagai ruang enlightment (pencerahan) menuju pembangunan karakter bangsa. Ia mengatakan, kebebasan yang dianut infotainmen belum memiliki standarisasi keseimbangan antara hak dan tanggung jawab. Di mana tayangan infotainmen saat ini lebih mementingkan bisnis, lebih dikendalikan kekuatan uang, daripada aspek pembangunan moral bangsa. Sehingga, menurut Kyai NU ini, “Susah dibedakan antara democracy dengan democrazy, pendapat mengikuti pendapatan,” katanya.

Kapitalisasi

Benar kata Rupert Murdoch, pengamat media massa asal Australia, hanya ada tiga topik berita yang menarik publik; perang, kriminalitas, serta skandal cinta dan sex. Selingkuh, skandal cinta dan sex, pertengkaran, kawin-cerai, selalu menjadi komoditas laris di bursa infotainmen, dengan rating yang sangat tinggi. Alhasil, tayangan itu menjanjikan pundi-pundi rupiah bagi pihak terkait sehingga sulit ditinggalkan begitu saja. Apalagi ditambah politik, rasa perselingkuhan, cinta, dan seks pun jadi semakin gurih dan lezat diberitakan.

Tayangan acara-acara infotainmen yang membludak itu, selain memberi kesan indikatif budaya bahwa untuk menjadi modern adalah membincang telanjang kehidupan pribadi tokoh idola, juga memberi kesan indikatif hukum seolah resiko seorang artis dan tokoh masyarakat jika sisi kehidupan pribadi mereka menjadi ‘santapan umum’. Saya tidak sedang membela kaum selebritis. Hanya ingin menegaskan, siapapun –tak terkecuali public figure—punya hak privacy yang berhak untuk tidak dipublikasikan karena bukan konsumsi sembarang orang.

Jika kita mau jujur, sebetulnya nyaris tidak ada manfaat yang bisa diambil dari tayangan-tayangan infotainmen itu. Paling banter, sifatnya hiburan guna mengisi waktu luang. Namun rasanya kurang fair jika hiburan itu justru harus menimpakan kerugian di pihak lain. Bahkan tak jarang cerita-cerita gosip itu berubah menjadi fitnah dan pencemaran nama baik karena tadinya hanya berbekal asumsi. Dalam beberapa kasus, bahkan di tangan para infotainmen kasus-kasus konflik kaum selebritis itu “selesai” sebelum memasuki ruang persidangan.

Bukan gosip kalau tidak berdasarkan pada asumsi dan bukan fakta. Sesuai makna literer “gosip”, seolah memberi kelonggaran hukum dan kode etik karena secara terminologis mengakui dan mengabsahkan pemuatan sisi lain dari “berita”, bahwa berita tidak mesti berdasarkan fakta saja tetapi juga asumsi. Karenanya, menjadi ciri khas semua tayangan gosip sebuah cerita akan disusun dengan menampilkan asumsi-asumi lalu dibumbui praduga dan penguatan kilas-kilas foto.

Itulah barangkali yang dikehendaki media infotainmen. Ada unsur kesengajaan atau malah diskenariokan agar asumsi-asumsi itu berjejer rapi membentuk konflik tiada akhir. Ibarat cerita telenovela, gosip itu sengaja diupayakan tidak ada babak akhir. Berakhirnya gosip berarti usainya cerita seru sang tokoh. Dengan begitu, usai pulalah rasa ingin tahu banyak penonton.

Setiap kita kurang begitu menyadari jika gosip itu kemudian bisa berubah menjadi fitnah dan pencemaran nama baik. Pertentangan dua insan tokoh cerita yang dibesar-besarkan media jarang sekali yang bisa mendamaikan antara keduanya, yang terjadi justru “adu domba” terus-menerus sehingga jurang permusuhan di antara keduanya kian melebar. Sampai di sini, sebenarnya tidak ada satupun logika yang membenarkan semua tayangan gosip itu selain logika modal.

Pandangan Islam

Islam melarang perbuatan menggunjing dan menyiarkan aib orang karena menggiring seseorang pada dua prilaku berdosa besar. Apabila omongannya benar termasuk ghibah atau membuka aib orang, dan jika tidak berarti bohong. Alquran mewartakan, larangan seorang Muslim berprasangka (berasumsi tanpa validitas data), mencari-cari kesalahan orang lain, dan menggunjing aib orang. Rasulullah SAW berpesan pada umatnya agar mewaspadai prasangka, karena termasuk sedusta-dusta omongan (HR Muttafaq Alaih).

Gosip, gunjingan, dan fitnah jelas memicu konflik antarsesama sehingga berikutnya bisa menjebak mereka ke dalam suasana adu domba. Satu sama lain akhirnya saling hujat dan caci maki serta mau menghabiskan banyak uang dan memubazirkan energi untuk sekedar membuktikan siapa yang salah dan benar di pengadilan. Karena dampak besar ini Rasulullah SAW mengancam pengadu domba haram masuk surga (HR Muttafaq Alaih).

Fatwa haram infotainmen, merupakan kepedulian –bahkan mungkin greget lama—kaum ulama terhadap perkembangan media massa televisi yang alih-alih mampu mencerdaskan bangsa, malah sesak dengan tayangan infotainmen yang menyajikan sisi gelap kehidupan kaum selebritis. Seyogianya, fatwa tersebut menjadi ajang introspeksi para praktisi dan pengelola media tentang perlunya mengembalikan fungsi media massa ke khittahnya, yaitu menuju untuk mencerahkan dan mencerdaskan banyak orang.

Kebebasan pers dan informasi dewasa ini hendaknya tidak ditafsirkan liar dan tanpa batas hukum. Kebebasan hendaknya dimaknai proprosional dan profesional. Ketika kebebasan pers menimbulkan kerugian di pihak lain secara moril dan materil, tentunya tidak layak lagi disebut kebebasan melainkan berubah menjadi kejahatan informasi.

Televisi adalah sarana pendidikan dan pengetahuan bagi masyarakat luas. Jangan biarkan fungsi televisi berubah menjadi ajang adu domba dan konflik. Jangan sampai televisi jadi berubah televiolence, media penganjur kekerasan jarak jauh. Suguhilah bangsa ini dengan tontonan hiburan yang edukatif (edutainmen), hiburan mendidik dan mencerdaskan. Hal ini bisa dilakukan dengan, misalnya menayangkan “sisi baik” para artis dan public figure berupa kesalehan sosial mereka agar menjadi teladan bagi semua orang.***

0 komentar: